PROPOSAL PENELITIAN
PROFESIONALISME APARATUR DALAM PELAYANAN PUBLIK
DI KANTOR KECAMATAN
(Suatu Penelitian Deskriptif Kualitatif di Kecamatan Moyudan Kab.Sleman,Prov. D.I.Y)
PROFESIONALISME APARATUR DALAM PELAYANAN PUBLIK
DI KANTOR KECAMATAN
(Suatu Penelitian Deskriptif Kualitatif di Kecamatan Moyudan Kab.Sleman,Prov. D.I.Y)
A. LATAR BELAKANG
Negara Republik Indonesia sebagai
negara kesatuan, sistem penyelenggaran pemerintahan dibingkai dalam kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah. Diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa pergeseran paradigma
pemerintahan dari negara sebagai pusat kekuasaan (sentralistik) menuju negara
lebih dekat dengan rakyat (desentralistik). Tata kelola pemerintahan tidak lagi
berorientasi pada aspek pemerintahan (goverment) akan tetapi beralih ke aspek
tata pemerintahan (governance). Disinilah peran strategis birokrasi pemerintah
dalam mewujudkan good governance, yang merupakan conditio sine qua non bagi keberhasilan pembangunan.
Profesionalisme birokrasi merupakan prasyaratan (prereguisite) mutlak untuk
mewujudkan good governance (Tjokowinoto, 2001 ; 3). Upaya untuk mewujudkan good
governance memerlukan unsur profesionalisme dari aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan publik.
Profesionalisme disini lebih menekan
kepada kemampuan, keterampilan dan keahlian aparatur
pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang responsif,
transparansi, efektivitas dan efesien.
Dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah yang demokratis sebagai konsekuensi diberlakukanya
undang-undang tersebut, khususnya bagi aparatur pemerintah dituntut untuk lebih
profesional didalam menjalankan tugas-tugasnya. Untuk mencapai tujuan publik
yang demokratis itu, tentu kinerja
birokrasi harus profesional, dan untuk mencapai profesionalitas birokrasi harus
berpegang pada nilai efektivitas dan efesien (Widodo, 2005 ; 315).
Aparatur yang profesionalisme pada prinsipnya
mengandung dua makna yakni sebagai :
1. Profesi
yaitu aparatur dituntut untuk memiliki keterampilan dan keahlian yang dapat
diandalkan sebagai penunjang kelancaran pelaksanaan tugas, sedangkan;
2. Pengabdian yaitu sikap dan tindakan aparatur
dalam menjalankan tugas harus senantiasa mendahulukan kepentingan umum dari
pada kepentingan pribadi.
Profesionalisme merupakan cerminan keterampilan dan
keahlian aparatur yang dapat berjalan efektif apabila didukung dengan kesesuaian tingkat pengetahuan
atas dasar latar belakang pendidikan
dengan beban kerja yang menjadi tanggung
jawabnya dan juga sebagai cerminan potensi diri yang dimiliki aparatur,
baik dari aspek kemampuan maupun aspek tingkah laku yang mencakup loyalitas,
inovasi, produktivitas dan kreatifitas. Salah satu tantangan terbesar yang
dihadapi oleh aparatur pemerintah adalah usaha menampilkan profesionalitas,
etos kerja tinggi, keunggulan kompetitif dan kemampuan memegang teguh etika
birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aspirasi
masyarakat yang bebas dari nuansa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Agar birokrasi dapat memberikan pelayanan
yang baik, maka diantara sepuluh prinsip good gevernance ada 3 (tiga) nilai
administratif – manajerial mendasar yakni : efektifitas, efesiensi dan profesionalisme
(Widodo, 2005 ; 315). Namun tata pemerintahan yang baik (good governance)
dapat menjadi kenyataan,apabila didukung oleh aparatur yang memiliki
profesionalitas tinggi yang mengedepankan terpenuhinya transparansi,
akuntabilitas dan responsibilitas publik, yakni dengan menekan sekecil mungkin
pemborosan penggunaan sumber-sumber keuangan pemerintah (negara) dan juga
sekaligus memperkuat peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pondasi
untuk melaksanakan tugas-tugasnya (Islami, 1998 ; 3). Selanjutnya, menurut
Islami (1998; 14-15), Bahwa akuntabilitas dan responsibilitas publik pada
hakikatnya merupakan standar profesional yang harus dicapai/dilaksanakan aparat
pemerintah dalam memberikan pelayanan dengan daya tanggap yang tinggi sesuai
aspirasi masyarakat secara bertanggungjawab atas pelaksanaan tugas-tugasnya.
Selain regulasi yang kuat sebagai fondasi dan standar pelayanan birokrasi juga
profesionalitas sangat ditentukan oleh kompetensi dan kemampuan aparatur untuk
bertindak secara profesional dalam mengemban pekerjaan menurut bidang tugas
tingkatan masing-masing. Hasil dari pekerjaan itu lebih ditinjau dari segala
segi sesuai dengan porsi, obyek, bersifat terus menerus dalam situasi dan
kondisi yang bagaimanapun serta jangka waktu penyelesaian pekerjaan yang
relatif singkat (Suit dan Almasdi, 2000; 99).
Pentingnya profesionalisme aparatur ,sejalan
dengan bunyi pasal 3 ayat (1) UU No. 43/1999 tentang tentang Perubahan Atas UU
No. 8/1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang menyebutkan bahwa :
“Pegawai
Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara,
pemerintahan dan pembangunan”
Hal
ini senada dengan pola pengaturan kebijaksanaan personalia di bidang
pemerintahan, seperti disebutkan dalam Modul AKIP (LAN dan BPKP, 2000 ; 30),
bahwa “salah satu sumber organisasi yang
paling penting adalah sumber daya manusia
yang dimiliki oleh instansi pemerintah” Berarti Sumber daya manusia
memegang peranan penting dari saat perumusan visi dan misi, hingga pencapaian
tujuan dan sasaran organisasi.
Argumen ini diperkuat oleh pendapat Siagian (2000 ; 140) yang mengatakan bahwa
“Manusia merupakan unsur penting dalam setiap dan semua organisasi,
keberhasilan organisasi mencapai tujuan dan berbagai sasaran serta kemampuannya
menghadapi berbagai tantangan, baik yang sifatnya eksternal maupun internal
sangat ditentukan oleh kemampuan mengelola sumber daya manusia”. Jadi, tidak
berlebihan kata jika Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor penentu
berhasil atau sukses tidaknya pencapaian visi, misi dan tujuan sebuah
organisai. Oleh karenanya, setiap aparatur pemerintah dituntut untuk dapat
melakukan tugas dan fungsinya secara profesional untuk menghasilkan sejumlah out put yang sesuai
dengan tujuan organisasi dan keinginan masyarakat.
Menurut
UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sebagai upaya peningkatan
kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik, serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara
dari penyalahgunaan wewenang. Tetapi
untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, maka dipandang perlu untuk
meningkatkan kapasitas SDM pelayanan, mengingat bahwa Sumber Daya Manusia (SDM)
aparatur pelayanan memiliki peran strategis sebagai pendorong (key leverage)
dari reformasi birokrasi. Adapun arah kebijakan pembangunan di bidang
aparatur
negara adalah “meningkatkan
profesionalisme, netralitas dan kesejahteraan SDM aparatur. Peningkatan
kualitas SDM aparatur diarahkan untuk mewujudkan SDM aparatur yang
profesional, netral, dan
sejahtera” Hal tersebut mengindikasikan sangat pentingnya
profesionalitas aparatur dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan
publik. Kecamatan Sebagai Perangkat Daerah (SKPD) adalah yang terdepan
dalam
memberikan pelayanan publik sebab pemerintah kecamatan merupakan tingkat
pemerintahan yang mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan pelayanan
terhadap masyarakat, hal ini yang kemudian menjadikan camat sebagai
ujung
tombak dalam pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan serta sebagian
urusan
otonomi yang yang dilimpahkan oleh bupati/walikota untuk dilaksanakan
dalam
wilayah kecamatan.
Menurut
UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004, Kecamatan adalah wilayah kerja camat
sebagai perangkat daerah kabupaten/kota. Perubahan fundamental tersebut
berpengaruh pada kedudukan kecamatan. Kecamatan semula wilayah merupakan
wilayah administrasi pemerintah dengan camat sebagai kepala wilayah/penguasa
tunggal ( UU No. 5/1974/UU No.5/1979). Sekarang kecamatan hanya merupakan wilayah
kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten/kota. Menurut Saduwasistiono (Widodo,2005;190)
bahwa Sebagai unsur lini kewilayahan, camat menjalankan tugas pokok sebagai unsur lini yaitu to do, to ac. Artinya kecamatan dijadikan sebagai pusat pelayanan pada
masyarakat yang bersifat operasional dengan batas wilayah sebagai batas
pemberian pelayanan. Kecamatan yang merupakan ujung tombak terutama dalam
pemberian pelayanan kepada masyarakat juga tidak terlepas dari permasalahan
yang berkenaan dengan kondisi pelayanan yang relatif belum memuaskan. Baik
buruknya pelayanan yang diberikan sangat ditentukan oleh tersedianya sumberdaya
aparatur pemerintah yang profesional. Berdasarkan
Permendagri No.4 Tahun 2010 ttg Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu
Kecamatan (PATEN) bahwa pelayanan publik oleh kecamatan meliputi pelayanan bidang
perizinan; dan pelayanan bidang non perizinan dengan maksud dan tujuan yaitu
kecamatan sebagai pusat pelayanan masyarakat dan menjadi simpul pelayanan bagi
kantor/badan pelayanan terpadu di kabupaten/kota dan untuk meningkatkan
kualitas dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Sedangkan
berdasarkan Kepmen PAN No. 58 tahun 2002 (Pasolong, 2007:129), bentuk pelayanan
yang diberikan kepada masyarakat dapat dibedakan dalam beberapa jenis
pelayanan, yaitu :
1. Pelayanan administratif
Pelayanan yang diberikan oleh unit
pelayanan berupa pencatatan, penelitian, dokumentasi dan kegiatan tata usaha
lainnya.
Contoh : Sertifikat
tanah, IMB, Pelayanan administrasi kependudukan (KTP, akte kelahiran), dan lain
sebagainya.
2. Pelayanan barang
Pelayanan
yang diberikan oleh unit pelayanan berupa kegiatan penyediaan dan atau
pengolahan bahan berwujud fisik.
Contoh:
Listrik, pelayanan air bersih, pelayanan telepon, dan lain sebagianya.
3. Pelayanan jasa
Pelayanan
yang diberikan oleh unit pelayanan berupa sarana dan prasarana serta
penunjangnya.
Contoh
: Pelayanan angkutan darat/air/udara, pelayanan kesehatan, perbankan, pos, dan
lain sebagainy.
Kecamatan
sebagai organisasi instansi pemerintah
yang menyelenggarakan pelayanan publik khususnya yang berkaitan dengan
Perijinan maupun non perizinan, (KTP/e-KTP, KK, Akte kelahiran/kematian, Surat
Tanah / Ahli Waris, IMB serta kebutuhan lainya) juga dituntut bekerja secara
professional serta mampu secara cepat merespon aspirasi dan tuntutan publik dan
perubahan lingkungan lainnya dengan cara kerja
birokrasi yang lebih berorientasi kepada masyarakat dari pada berorientasi
kepada atasan.
Namun
kenyataannya, aparatur pemerintah di Indonesia
khususnya aparatur pemerintah kecamatan secara empiris pelayanan publik
yang terjadi selama ini masih bercirikan berbelit-belit, lambat, mahal, dan
melelahkan. Kecenderungan seperti itu terjadi karena masyarakat masih diposisikan
sebagai pihak yang “melayani” bukan yang dilayani. Banyaknya pengaduan dan
keluhan dari masyarakat kepada Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara
(Menpan) seperti menyangkut prosedur dan mekanisme kerja pelayanan yang
berbelit-belit, lambat, tidak adil dalam memberikan pelayanan, kurang
informatif, kurang akomodatif, kurang
konsisten, terbatasnya fasilitas, sarana dan prasarana pelayanan, tidak
menjamin kepastian (hukum, waktu, dan biaya) serta masih banyak dijumpai
praktek pungutan liar serta tindakan-tindakan yang berindikasi penyimpangan dan
KKN. Berbagai Patologi birokrasi ini
akan mencerminkan kurangnya
profesionalisme aparatur
pemerintah dalam menjalankan tugasnya serta menunjukkan semakin buruknya kinerja aparatur dalam memberikan pelayanan
publik. Aparatur dengan prosedur berbelit-belit (birokratis), tidak
adanya kepastian, kurang transparan, lamban dengan disertai adanya pemungutan
biaya tambahan diluar biaya resmi. Akibat yang dapat dilihat sekarang banyak
masyarakat pengguna jasa pemerintah sering dihadapkan pada begitu banyak
ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan aparat birokrasi (Dwiyanto, dan
Kusumasari, 2000; 7). Berkaitan dengan
teridentifikasinya sedikit patologi diantara sekian banyak patologi birokrasi
Indonesia yang pada akhirnya membuat birokrasi menjadi tidak responsif dan
inovatif. Adanya berbagai macam keluhan dan tuntutan perbaikan yang diajukan
oleh masyarakat pengguna jasa kepada aparat birokrasi terlihat bahwa secara
umum kinerja birokrasi indonesia dalam menjalankan fungsi pelayanan publik
masih jauh dari harapan bagi terwujudnya birokrasi yang yang responsif,
efesien, dan publik akuntabel (Dwiyanto,.dkk. 2006;228). Selain kenyataan lain
di lapangan, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, para pegawai masih
jauh dari kata profesionali. Seringkali apabila ada masyarakat yang membutuhkan
pelayanan dengan meminta kejelasan
proses, prosedur dan biaya pelayanan tetapi terkadang tidak dipedulikan.
Aparatur pemerintah kurang mampu dalam
menyelenggarakan kegiatan pemerintah yang mempunyai kredibilitas yang tinggi,
sehingga semakin banyaknya proses pelayanan yang diberikan kepada masyarakat
menjadi relatif kurang optimal (Dwiyanto, 2005 ; 68). Profesionalisme yang belum membudaya di institusi ini membuat
aparatnya berinisiatif untuk recode
kode-kode genetika sukses berkarya. (Syakrani & shariani, 2009 : 4). Tuntutan
administrative accountability yang melebihi tuntutan social accountability
mendorong institusi ini merasa tidak butuh kreativitas, inovasi, entrepreneur
spirit,terobosan, challenging the processes dalam menjalankan fungsinya. Argumen
lain yang dikemukakan oleh Siagian (1994;44 ) mengenai Patologi birokrasi
mempertahankan status quo dalah rasa takut menghadapi perubahan tidak mau
inovatif dan tidak mau mengambil resiko. Oleh karena kemampuan kerja yang
sangat terbatas membuat aparatur tidak inovatif. Akibat sikap yang tidak
inovatif antara lain mempertahankan mekanisme, prosedur dan tekbik- teknik yang
sudah lama digunakan meskipun sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan
masyarakat dalam meningkatkan produktivitas, efesiensi dan efektivitas kerja
organisasi. Kemampuan teknis yang dimiliki aparatur masih kurang terutama dalam
mengoperasikan alat-lat teknologi
informasi. Loyalitasan aparatur masih terlalu birokrasi dan kaku sehingga
kurang memunculkan kreativitas dan inovasi. Artinya Selama ini penyelenggaraan
pemerintah belum sepenuhnya menunjang terwujudnya good governance, maka
birokrasi perlu diperbaiki. Jadi, harus ada suatu reformasi birokrasi nasional
yang benar-benar didukung kuat oleh segenap komponen bangsa, dengan
menempatkankan kelembagaan birokrasi yang perlu ditata, sebagai struktur
penopangnya yang kuat dan proposional. Disana sumber daya manusia diberi ruang
membangun kompetensi dan profesionalitasnya, antara lain melalui peningkatan
kedisplinan dalam segala maknanya yang erat dengan penerapan prinsip meritokrasi
(Sedermayanti, 2007;330 ). Secara konseptual, kualitas tinggi dan kekenyalan
terus menerus dalam mengurus organisasi
dan tata pemerintahan yang baik terkait dengan sikap profesionalisme aparatur
dalam merespon kebutuhan dan harapan
masyarakat (masyarakat indonesia yang demokratis dan desentralisasi) yang
dipengaruhi perkembangan (tantangan dan peluang) lingkungan strategis nasional,
regional dan global. Berkarya secara profesional mengandung makna bahwa
seseorang benar-benar memahami seluk beluk tugasnya secara mendalam (Siagian,
1994;123). Tuntutan masyarakat yang semakin pesat, menjadi kewajiban aparatur
berkarya dalam penyelenggaraan pemerintah untuk meningkatkan
profesionalitasnya dibidang tugas yang
dipercayakan kepadanya, sebab dengan demikian kreatifitas dan produktivitas
kerja dapat ditingkatkan.
Berdasarkan
dari
uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian
dengan judul “PROFESIONALISME APARATUR DALAM PELAYANAN PUBLIK DI KANTOR
KECAMATAN”
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
latar belakang yang dikemukakan diatas,maka permasalahan dalam penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut “BAGAIMANA PROFESIONALISME APARATUR DALAM PELAYANAN
PUBLIK DI KANTOR KECAMATAN”
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.
Tujuan Penelitian
Ø Bertujuan
untuk mengetahui Profesionalisme
Aparatur dalam Pelayanan Publik di Kantor Kecamatan.
2. Manfaat Penelitian
Ø Manfaat
teoritis, untuk meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan serta wawasan dalam membandingkan
teori yang diperoleh diperkuliahan serta aplikasinya dengan kenyataan yang
terjadi dilapangan.
Ø Manfaat
praktis, hasil penelitian ini diharapkan
dapat menjadi bahan masukan dan rujukan kkhususnya bagi pemerintah kecamatan
untuk meningkatkan profesionalisme aparatur dalam pelayanan publik.
D. KERANGKA TEORI
1.
Konsep
Profesionalisme Aparatur
a. Pengertian
Profesionalisme
Istilah
profesionalisme dapat diartikan sebagai suatu kemampuan dan keterampilan
seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut bidang dan tingkatan masing-masing.
Menurut Korten & Alfonso (Tjokrowinoto, 1996;178)
yang dimaksud dengan Profesionalisme adalah “kecocokan (fitness) antara
kemampuan yang dimiliki oleh birokrasi (bureaucratic-competence) dengan
kebutuhan tugas (task-requirement), merencanakan, mengkordinasikan, dan
melaksanakan fungsinya secara efisien, inovatif, lentur, dan mempunyai etos
kerja tinggi”. Menurut pendapat tersebut, kemampuan aparatur lebih diartikan
sebagai kemampuan melihat peluang-peluang yang ada bagi pertumbuhan ekonomi,
kemampuan untuk mengambil langkah-langkah yang perlu dengan mengacu kepada misi
yang ingin dicapai dan kemampuan dalam meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
tumbuh kembang dengan kekuatan sendiri secara efisien, melakukan inovasi yang
tidak terikat kepada prosedur administrasi, bersifat fleksibel, dan memiliki
etos kerja tinggi.
Menurut
Departemen Dalam Negeri (2004;13) adalah merupakan kehandalan dalam pelaksanaan
tugas sehingga terlaksana dengan mutu tinggi, waktu yang tepat, cermat dan
dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh pelanggan. Hal senada seperti yang dikemukakan oleh Siagian (2009;163)
profesionalisme adalah “Keandalan dan keahlian dalam pelaksanaan tugas sehingga
terlaksana dengan mutu tinggi, waktu yang tepat, cermat, dan dengan prosedur
yang mudah dipahami dan diikuti oleh pelanggan”. Pendapat tersebut diperkuat
oleh
Sedarmayanti (2004;157)
mengungkapkan bahwa, “Profesionalisme adalah suatu sikap atau keadaan dalam
melaksanakan pekerjaan dengan memerlukan keahlian melalui pendidikan dan
pelatihan tertentu dan dilakukan sebagai suatu pekerjaan yang menjadi sumber
penghasilan.” Terbentuknya aparatur profesional memerlukan keahlian
dan keterampilan khusus yang dibentuk melalui pendidikan dan pelatihan sebagai
instrumen pemutakhiran. Jadi dengan keahlian dan keterampilan khusus yang
dimiliki oleh aparatur
memungkinkan
terpenuhinya kecocokan antara kemampuan aparatur dengan kebutuhan tugas
merupakan syarat terbentuknya aparatur yang profesional. Artinya keahlian dan
kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah
organisasi. Apabila suatu organisasi berupaya untuk memberikan pelayanan publik
secara prima maka organisasi tersebut mendasarkan profesionalisme terhadap
tujuan yang ingin dicapai. Pandangan
lain yang dikemukakan oleh Dwiyanto
(2011;157) mengatakan profesionalisme adalah “Paham atau keyakinan bahwa sikap
dan tindakan aparatur dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan
pelayanan selalu didasarkan pada ilmu pengetahuan dan nilai-nilai profesi
aparatur yang mengutamakan kepentingan publik.
Profesionalisme aparatur dalam hubungannya dengan organisasi publik
menurut digambarkan sebagai, “Bentuk kemampuan untuk mengenali kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda, memprioritaskan pelayanan, dan mengembangkan
program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat atau
disebut dengan istilah resposivitas. (Kurniawan,
2005:79). Sedangkan dalam pandangan Tjokrowinoto (1996:191)
dijelaskan bahwa yang
dimaksud
dengan profesionalisme adalah kemampuan untuk untuk menjalankan tugas dan
menyelenggarakan pelayanan publik dengan mutu tinggi, tepat waktu, dan prosedur yang
sederhana. Artinya dibutuhkan tindakan aparatur bekerja secara profesional
meningkatkan kualitas pelayanan dengan prinsip-prinsip pelayanan yang
responsif, efektif dan efesien untuk mencapai misi dan tujuan organisasi. Maka
diharapakan sikap aparatur dalam melaksanan bidang tugas/ pekerjaan
masin-masing dengan optimal dan akuntabilitas publik agar masyarakat yang
dilayani merasa terpenuhi kebutuhanya.
Joko Widodo (2007 : 89) memberikan penekanan kepada pentingnya kualitas
pelayanan pegawai oleh organisasi publik yang lebih professional efektif,
efesien, sederhana, transparan terbuka, tepat waktu, responsive dan adaptif.
Dari beberapa pengertian diatas,
dapat disimpulkan bahwa profesionalisme adalah
kemampuan , keahlian atau keterampilan seseorang dalam melakukan
pekerjaan dengan kreatif, inovatif dan responsif serta memiliki kualitas,mutu
tinggi.
Pentingnya kemampuan aparatur dalam beradaptasi terhadap
perubahan lingkungan eksternal dan internal organisasi dijadikan tolak-ukur
dalam melihat profesionalisme birokrasi. Menurut (Ancok, 2000) dijelaskan
tentang pengukuran profesionalisme antara lain : kemampuan beradaptasi,
kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan fenomena global dan fenomena nasional;
Mengacu kepada misi dan nilai (mission & values-driven professionalism),
Birokrasi memposisikan diri sebagai pemberi pelayanan kepada publik dan dalam
mewujudkan tujuan organisasi yang berorientasi kepada hasil yang ingin dicapai
organisasi. Profesionalisme dalam pandangan (Korten dan Alfonso,1981) diukur
melalui keahlian yang dimiliki oleh seseorang yang sesuai dengan kebutuhan
tugas yang dibebankan organisasi kepada seseorang. Artinya bahwa disiplin ilmu
atau keahlian sesesorang harus sesuai
tugas yang diembannya jika tidak maka akan berdampak pada kefakuman fungsional
birokrasi.
Pandangan lain oleh Tjokrowinoto (1996;190), mengatakan
birokrasi dapat dikatakan profesional atau tidak, diukur melalui kompetensi
sebagai berikut;
a.
Profesionalisme
yang Wirausaha (Entrepreneurial - Profesionalism) yaitu kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang
ada bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional, keberanian mengambil risiko
dalam memanfaatkan peluang, dan kemampuan untuk menggeser alokasi sumber dari
kegiatan yang berproduktifitas rendah ke produktifitas tinggi yang terbuka dan
memberikan peluang bagi terciptanya lapangan kerja dan peningkatan pendapatan
nasional.
b.
Profesionalisme
yang Mengacu Kepada Misi Organisasi (Mission-driven Profesionalism) yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan dan
langkah langkah yang perlu dan mengacu kepada misi yang ingin dicapai
(mission-driven professionalism), dan tidak semata mata mengacu kepada
peraturan yang berlaku (rule-driven professionalism).
c.
Profesionalisme
Pemberdayaan (Empowering-Profesionalism artinya kemampuan ini diperlukan untuk
aparatur pelaksana atau jajaran bawah (grassroots) yang berfungsi untuk
memberikan pelayanan publik (service provider). Profesionalisme yang dibutuhkan
dalam hal ini adalah profesionalisme-pemberdayaan (empowering-prefesionalism)
yang sangat berkaitan dengan gaya pembangunan.
Dalam konsep ini birokrasi berperan sebagai fasilitator atau
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk tumbuh berkembang dengan kekuatan
sendiri.
Menurut Siagian (2000) bahwa
Profesionalisme diukur dari segi kecepatannya dalam menjalankan fungsi dan
mengacu kepada prosedur yang telah disederhanakan. Artinya konsep profesionalisme
dalam diri aparat diukur dari segi;
a.
Kreatifitas
(creativity) yaitu kemampuan aparatur untuk menghadapi hambatan dalam
memberikan pelayanan kepada publik dengan melakukan inovasi. Hal ini perlu
diambil untuk mengakhiri penilaian miring masyarakat kepada birokrasi publik
yang dianggap kaku dalam bekerja. Terbentuknya aparatur yang kreatif hanya
dapat terjadi apabila; terdapat iklim yang kondusif yang mampu mendorong
aparatur pemerintah untuk mencari ide baru dan konsep baru serta menerapkannya
secara inovatif; adanya kesediaan pemimpin untuk memberdayakan bawahan antara
lain melalui partisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pekerjaan,
mutu hasil pekerjaan, karier dan penyelesaian permasalahan tugas.
b.
Inovasi
(innovasi), Perwujudannya berupa hasrat dan tekad untuk mencari, menemukan dan
menggunakan cara baru, metode kerja baru, dalam pelaksanaan tugasnya. Hambatan
yang paling mendasar dari perilaku inovatif adalah rasa cepat puas terhadap
hasil pekerjaan yang telah dicapai.
c.
Responsifitas
(responsivity) yaitu kemampuan aparatur dalam mengantisipasi dan menghadapi
aspirasi baru, perkembangan baru, tuntutan baru, dan pengetahuan baru,
birokrasi harus merespon secara cepat agar tidak tertinggal dalam menjalankan
tugas dan fungsinya.
Menurut
Solihin (2007) : wujud nyata kompetensi dapat dilihat dari upaya penilaian dari
prinsip profesionalisme dan kebutuhan serta evaluasi yang dilakukan terhadap
tingkat kemampuan dan profesionalisme SDM yang ada.
Kondisi birokrasi
indonesia saat ini yang semakin terpuruk dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat membuat kinerja aparatur dalam memberikan pelayanan publik merupakan
tuntutan utama publik, sehingga sangat diharapkan unsur profesionalisme
aparatur yang dilakukan secara kreatif ,
inovatif dan responsif artinya memilikia kualifikasi dibidangnya untuk dapat
beradaptasi pada perubahan lingkungannya serta mampu mengembalikan kepercayaan
rakyat kepada pemerintah. Terabaikannya
unsur profesionalisme dalam menjalankan tugas dan fungsi organisasi pemerintahan
akan berdampak kepada menurunnya kualitas penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan publik. Profesionalisme disini lebih ditujukan kepada kemampuan
aparatur dalam memberikan pelayanan yang baik, adil, dan inklusif dan tidak
hanya sekedar kecocokan keahlian dengan tempat penugasan. Sehingga aparatur
dituntut untuk memiliki kemampuan dan keahlian untuk memahami dan
menterjemahkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat kedalam kegiatan dan program
pelayanan.
1. Kreatifitas (creativity)
2. Inovasi (innovasi)
3. Responsifitas
(responsivity).
Jadi, indikator minimal
untuk mengukur profesionalisme adalah berkinerja tinggi; taat asas; kreatif,
inovatif, kreatifitas artinya memiliki kualifikasi di bidangnya. Sedangkan
perangkat pendukung Indikator adalah standar kompetensi yang sesuai dengan
fungsinya; kode etik profesi; sistem reward and punishment yang jelas;
sistem pengembangan sumber daya manusia (SDM); dan standar indikator kinerja.
1. Konsep
Kreatifitas
Kemampuan aparatur untuk menghadapi
masalah dalam memberikan pelayanan
kepada publik jika sebuah masalah telah terpecahkan akan kesulitan telah
teratasi atau jika sesuatu yang baru telah diciptakan sesuatu yang baru telah
di ciptakan atau sesuatu yang lama telah mengalami penyesuaian berarti
kreativitas telah bekerja (Petty, 1997). Menurut Munandar bahwa kreativitas
adalah kemampuan mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibilitas) dan
orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan,
memperkaya, memperinci) suatu gagasan(dalam Irwanto, 2002 : 185) Artinya
kreatifitas menciptakan hal-hal yang baru sangatlah penting dalam memberikan
solusi dari berbagai masalah dinamika organisasi khususnya bagi instansi
pemerintah misalkan kemampuan aparatur dalam menyelasaikan hambatan yang
berkaitan dengan pelayanan publik yang masih bersifat statis (mampu
beradaptasi) atau aturan lama yang masih diterapkan tetapi sudah tidak relevan
dengan tuntutan masyarakat masa kini. Kreativitas juga dapat menjadi cerminan
potensi seseorang dalam membangun ide, gagasan untuk dikembangkan dan perkaya
untuk menciptakan sebuah inovasi. Pendapat
Rogers (dalam Munandar, 2004) bahwa sumber
dari kreativitas adalah kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri, mewujudkan
potensi, dorongan untuk berkembang dan menjadi matang, kecenderungan untuk
mengekspresikan dan mengaktifkan semua kemampuan organisme.
2.
Konsep
Responsifitas.
Kemampuan aparatur dalam mengantisipasi
dan menghadapi aspirasi baru, perkembangan baru, tuntutan baru, dan pengetahuan
baru, dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat
Menurut Lenvine dkk,1990
(Dwiyanto,1995;7) bahwa yang dimaksud dengan responsifitas adalah: kemampuan
organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas
pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi publik. Artinya responsifitas berkaitan dengan kecocokan
dan keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan
aspirasi masyarakat. Sedangkan menurut (Siagian,2000;165) yang dimaksud dengan
responsifitas adalah : Sebagai bentuk kemampuan birokrasi dalam mengantisipasi
dan menanggapi aspirasi baru, kebutuhan baru dan tuntutan baru dari masyarakat.
Aparatur pemerintah diharapkan memiliki kemampuan dalam merespon dan
mengantisipasi segala bentuk aspirasi masyarakat untuk kemudian aspirasi baru
masyarakat diakomodir sebagai issu
perumusan kebijakan pemerintah dalam program-program pelayanan publik.
Sedangkan kegiatan pelayanan adalah merupakan bentuk dari kewajiban birokrasi
dan pengabaian terhadap hal tersebut akan berdampak kepada kekecewaan
masyarakat yang pada gilirannya mungkin berakibat kepada timbulnya “krisis
kepercayaan” kepada pemerintah.
Dari uraian diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan responsifitas merupakan kemampuan
aparatur dalam mencermati perubahan lingkungan (Tuntutan kebutuhan publik,
kemajuan teknologi) dan merealisasikannya dalam bentuk program dan pelayanan
yang berorientasi kepada masyarakat.
3.
Konsep
inovasi.
Kemampuan apartur dalam memecahkan
masalah-masalah pelayanan publik yang sering berkaitan dengan profesionalisme
aparatur. Inovasi
merupakan kelanjutan dari sebuah kreatifitas birokrasi melalui respon yang ada
dari perubahan lingkungan. Inovasi dalam dunia birokrasi publik seringkali
menghadapi hambatan dan benturan dari keberadaan aturan formal dan rendahnya
sikap pemimpin yang visioner dalam lingkungan birokrasi publik. Inovasi
menunjukkan bahwa birokrasi menemukan dan melakukan proses kerja baru yang
bertujuan untuk menjadikan pekerjaan dan pelayanan menjadi lebih baik. Argument
tersebut diperkuat oleh Ashkens dkk,1995 (Thoha,1997;16) bahwa suatu organisasi yang profesional dan
modern berusaha untuk selalu berorientasi kepada pelanggan (publik) dan
berusaha mendorong dan menghargai kreatifitas anggota. Kondisi dimana birokrasi
publik Indonesia dewasa ini dihadapkan dengan lingkungan kerja yang tidak
kondusif bagi terciptanya inovasi dan kurang menghargai kreatifitas yang ada di
dalamnya. Inovasi tidak hanya bertujuan untuk menciptakan suatu model kerja
baru tetapi juga bertujuan untuk mencapai suatu kepuasan kerja bagi individu
maupun organisasi dan kepuasan pelayanan bagi masyarakat. Upaya melakukan
sebuah inovasi dalam lingkungan birokrasi pemerintah perlu mendapat dukungan
penghargaan terhadap setiap kinerja aparatur sehingga lebih termotivasi lagi
dalam melakukan pekerjaan dan lebih cenderung mendukung setiap aparatur
berkretifitas menemukan hal-hal yang baru serta meminimalisir segala bentuk
hambatan misalkan proses kerja yang sangat prosedural dan birokratis juga pada
aturan baku yang berkaitan dengan tugas dan fungsi organisasi.
Dari pendapat diatas bahwa
inovasi menjadi sangat urgensi dilakukan dalam menghadapi perubahan
lingkungan yang dinamis yang disebakan oleh pengaruh modernisasi dan
globalisasi saat ini, serta segala bentuk penghargaan, insentif bagi birokrat
guna meningkatkan kompetisi serta gairah aparat dalam menjalan tugas dan fungsi
organisasi.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalisme.
Salah satu faktor yang menghambat kelancaran dan efektifitas birokrasi publik
adalah tidak profesionalnya aparatur birokrasi publik dalam menjalankan fungsi
dan tugas. Menurut (Siagian,2000,164) faktor-faktor yang menghambat terciptanya
aparatur yang profesional antara lain lebih disebabkan oleh ; profesionalisme
aparatur sering terbentur dengan tidak adanya iklim yang kondusif dalam dunia
birokrasi untuk menanggapi aspirasi masyarakat dan tidak adanya kesediaaan
pemimpin untuk memberdayakan bawahan. Kurangnya pemberdayaan aparatur membuat
semakin tidak dapat kreatif menghadapi berbagai masalah pelayanan publik akibat
tidak berperannya pemimpin sebagai pengarah (katalisator) bagi bawahan serta
regulasi organisasi mengenai struktur dan prosedur kerja birokrat yang sangat
birokratis juga membuat aparat menjadi tidak responsif, kaku. Lebih lanjut
dikemukakan oleh Tjokrowinotono, (1996;193) bahwa: profesionalisme tidak hanya
cukup dibentuk dan dipengaruhi oleh keahlian dan pengetahuan agar aparat dapat
menjalankan tugas dan fungsi secara efektif dan efisien,akan tetapi juga turut
dipengaruhi oleh filsafat-birokrasi, tata-nilai, struktur, dan prosedur-kerja
dalam birokrasi. Untuk mewujudkan aparatur yang professional diperlukan
political will dari pemerintah untuk melakukan perubahan besar dalam organisasi
birokrasi publik agar dapat bekerja secara profesional dan responsif terhadap
aspirasi dan kebutuhan publik
(Tjokrowinoto,1996;193) . Perubahan tersebut meliputi perubahan filsafat
atau paradigma organisasi dalam mencapai
tujuan yang dimulai dengan merumuskan visi dan misi yang ingin dicapai dan
dijalankan oleh organisasi, membangun struktur yang flat dan tidak terlalu
hirarkis serta prosedur kerja yang tidak terlalu terikat kepada aturan formal.
Sedangkan menurut (Numberi;2000) sebagai upaya untuk merespon aspirasi publik
yang juga sebagai bagian dari perubahan lingkungan maka perlu diambil tindakan
sebagai berikut : Serangkaian tindakan yang perlu ditempuh pemerintah untuk
merespon aspirasi publik dan perkembangan lingkungan dengan serangkaian
tindakan efisiensi yang meliputi penghematan struktur organisasi,
penyederhanaan prosedur, peningkatan profesionalisme aparatur menuju
peningkatan pelayanan publik. Untuk melakukan perubahan dalam organisasi dan
meningkatkan profesionalisme aparatur maka penting untuk merumuskan visi, misi
dan tujuan organisasi. Akibat modernisasi yang terjadi seperti
perubahan sikap dan mentalitas masyarakat sebagai warga masyarakat hidup sesuai
tuntutan masa kini serta kemajuan teknologi yang demikian pesatnya akibat arus
globalisasi mengakibatakan perubahan dalam berbagai segi dan aspek kehidupan.
Sebagai konsekuensi terhadap perubahan lingkungan tersebut menuntut aparat
untuk bekerja lebih
profesional dalam mensukseskan rencana program pemerintah.
Dari beberapa uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
faktor yang mempengaruhi profesionalisme aparatur antara lain ; fungsional
pemimpin dalam pemberdayaan aparatur (bawahan) , budaya atau paradigma
organisasi, visi, misi dan tujuan organisasi serta sistem organisasi
(struktur/prosedur kerja) dan sistem insentif. Namun faktor-faktor yang paling dominan
dalam mempengaruhi profesionalisme aparatur antara lain adalah:
a. Visi-Misi Organisasi.
b. Struktur Organisasi.
c. Kepemimpinan.
d. Penghargaan.
b. Aparatur
Aparatur merupakan
perangkat/alat kelengkapan negara terutama meliputi bidang kelembagaan,
ketatalaksanaan, kepegawaian yang
mempunyai tanggungjawa melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari. Aparatur
juga sebagai pelaksana roda birokrasi.
Menurut Sedarmayanti
(2009 : 319-320) bahwa. Birokrat
adalah :
1.
Birokrat adalah pegawai yang bertindak
secara birokratis
2.
Birokrat antara lain ;
a.
Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh
pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan
b.
Cara kerja dan atau susunan pekerjaan
yang serba lamban serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak
liku-likunya.
c.
Birokrasi sering melupakan tujuan yang
sejati, karena terlalu mementingkan cara dan bentuk. Ia menghalangin pekerjaan
yang cepat serta menimbulkan semangat menanti, menghilangkan inisiatif, terikat
pada peraturan yang rumit dan bergantung pada perintah atasan, berjiwa statis
dan karena itu menghambat kemajuan (sedarmayanti, 2009 : 319-320)
Pendapat di atas,
birokrat dapat diartikan yang bertindak secara birokratis yang Menjunjung tinggi nilai-nilai secara
sistematis Artinya, Kemajuan bukanlah
sesuatu yang ditargetkan karena terlalu terpaku pada aturan yang ada. Aparatur
sebagai pelaksanan jalannya birokrasi sering melupakan tujuan pemerintah
sebagai pelayan masyarakat dan Aparatur lebih memprioritaskan kepada bentuk
organisasi dan cara-cara yang sering dilaksanakan sehingga tidak mampu
beradaptasi pada perubahan lingkungannya
Menurut
Weber (Wijaya, 1993;25) menjelaskan tentang
batasan / defenisi tentang birokrasi bahwa “Birokrasi adalah suatu
sistem
otoritas yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan,
dengan demikian birokrasi
dimaksudkan untuk mengorganisasi secara
teratur suatu pekerjaan yang dilakukan
oleh banyak orang” Sedangkan menurut Mark
( Wijaya, 1993; 25 ) lebih lanjut menjelaskan bahwa “Birokrasi sebagai
Life orgasasi yangdipergunakan pemerintah modern untuk pelaksanaan
tugas – tugasnya yang bersifat
spesisialsasi dilaksanakan dalam sistem adminitrasi dan khususnya oleh
aparatur
pemerintah”
Defenisi
birokrasi di atas, pada hakikat nya birokrasi merupakan institusi dalam mekanisme pemerintah yang
netral, sebab fungsi dasar birokrasi menurut lingkup ilmu–ilmu administrasi
publik adalah sebagai pelaksana (actuating) sedangkan fungsi–fungsi administasi
lainnya seperti perencanaan (plainning), pengorganisasian (organizing) dan
pengawasan (controling) dilakukan oleh institusi –institusi lainnya bersifat
politis.
Dari beberapa pendapat
diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Aparatur adalah Birokrat (pegawai
pemerintah) seorang yang menjadi bagian birokrasi, mempunyai tanggungjawab
menjalankan roda pemerintahan sesuai tugas dan fungsi yang diatur dalam
peraturan perundangan.
2.
Pelayanan publik
Pelayanan adalah cara
melayani, membantu menyiapkan dan mengurus, menyelesaikan keperluan kebutuhan
seseorang atau sekelompok orang artinya objek yang dilayani adalah individu,
pribadi,=-pribadi dan kelompok organisasi. (Sianipar, 1998). Sedangkan publik
dapat diartikan sebagai masyarakat atau rakyat.
Menurut Saiful, 2008 :
3, Pelayanan publik adalah pelayanan
atau pemberian terhadap masyarakat pengguna fasilitas-fasilitas umum, baik jasa
maupun non jasa, yang dilakukan oleh organisasi publik dalam hal ini adalah
suatu pemerintahan. Pelayanan publik dengan demikian merupakan segala kegiatan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara dan penduduk atau
suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh
penyelenggara pelayan yang terkait pelayanan publik.
Menurut
Syafiie (2003 : 116) pelayanan terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu sebagai
berikut :
1.
Biaya relatif lebih rendah
2.
Waktu untuk mengerjakan relatif cepat
3.
Mutu yang diberikan relatif bagus
Sejalan
dengan hal tersebut, maka dalam Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 dijelaskan
sendi-sendi pelayanan prima:
1. Kesederhanaan,
dalam arti bahwa prosedur atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara
mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah
dilaksanakan.
2. Kejelasan
dari kepastian; adanya kejelasan dan kepastian mengenai;
a. Prosedur/tata
cara pelayanan umum.
b. Persyaratan
pelayanan umum baik teknis maupun administrasi.
c. Unit
kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum.
d. Rincian
biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya.
e. Jadwal
waktu penyelesaian pelayanan umum.
f. Hak
dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima pelayanan umum
g. Pejabat
yang menerima keluhan masyarakat apabila terdapat sesuatu yang tidak jelas dan
atau tidak puas atas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
h. Keamanan
dalam arti bahwa proses hasil pelayanan umum dapat memberikan kemananan dan
kenyamana serta dapat memberikan kepastian hukum;
3. Keterbukaan
dalan arti prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja pejabat penanggung
jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya/tariff dan
hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan
secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta
maupun tidak diminta;
5.
Efisiensi dalam:
a. Persyaratan
pelayanan umum dibatasi hanya pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pecapaian sasaran pelayanan dengan
tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum
yang diberikan;
b. Dicegah
adanya penanggulangan kelengkapan persyaratan pada konteks yang sama dalam hal
proses pelayanannya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi
pemerintah lain yang terkait;
6. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan
umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan :
a.
Nilai barang atau jasa pelayanan umum/ tidak menuntut biaya di luar kewajaran;
b. Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar
secara umum;
c. Ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
7. Keadilan yang merata, dalam arti cakupan atau
jangkuan pelayanan umum harus diusahakan
seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan secara adil;
8. Ketetapan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan
umum dapat diselesaikan dalam waktu yang
telah ditentukan.
Dengan demikian, pelayanan publik
adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara.
Oleh karena pada hakikatnya negara dalam hal ini pemerintah (birokrat) haruslah
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (Sinambela,2006;5). Pemerintah dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat seyogianya mendahulukan kepentingan umum,
mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu pelaksaan urusan publik dan
memberikan kepuasan kepada publik. Sejalan dengan itu pendapat A.S. Moenir
(1992 : 120), mengemukakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material
melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha memenuhi kebutuhan
orang lain sesuai dengan haknya.
Dari
beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pelayanan publik
adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang/ kelompok atau organisasi
tertentu untuk membantu memfasilitas kebutuhan masyarakat umum, dengan asas
keadilan (hak dan kewajiban), fleksibel, transparansi, efisiensi dan kepastian
(biaya dan hukum) sesuai peraturan yang berlaku.
E. Definisi
Konsep
Merupakan
definisi dari apa yang perlu dicermati, konsep juga menentukan antar variable-variabel
mana kita ingin menentukan hubungan empiris serta dipergunakan untuk memberikan suatu
batasan dari berbagai konsep secara tegas dan tuntas. Untuk mendapatkan batasan
defenisi yang lebih jelas dari masing-masing konsep, maka peneliti mengemukakan
defenisi dari beberapa konsep yang digunakan yaitu:
1. Profesionalisme
Aparatur
Ø Profesionalisme adalah
kemampuan , keahlian atau keterampilan seseorang dalam melakukan
pekerjaan dengan kreatif, inovatif dan responsif serta memiliki kualitas,mutu
tinggi.
Ø Aparatur
adalah Birokrat
(pegawai pemerintah) seorang yang menjadi bagian birokrasi, mempunyai
tanggungjawab menjalankan roda pemerintahan sesuai tugas dan fungsi yang diatur
dalam peraturan perundangan.
2.
Pelayanan
Publik
adalah suatu usaha yang
dilakukan oleh seseorang/ kelompok atau organisasi tertentu untuk membantu
memfasilitas kebutuhan masyarakat umum, dengan asas keadilan (hak dan
kewajiban), fleksibel, transparansi, efisiensi dan kepastian (biaya dan hukum)
sesuai peraturan yang berlaku.
F.
Defenisi Operasional
adalah
suatu unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel. Sedangkan arti dari variabel itu
sendiri adalah suatu karakteristik yang mempunyai variasi nilai atau ukuran.
Untuk menggambarkan Profesionalisme
Aparatur dalam Pelayanan Publik di Kantor Kecamatan... dapat dilihat dari
indikator sebagai berikut :
1.
Kreatifitas
a. Kemampuan
mengantisipasi dan menghadapi masalah dalam
pelayanan
b. Kemampuan
menciptakan solusi dalam pelayanan
c. Kemampuan mengembangkan ide baru dalam pelayanan
2. Inovasi
a. Keinginan
untuk berkembang dan mengembangkan diri dalam pelaksanaan tugas
b. Hasrat dan tekad mencari dan menemukan metode
baru dalam pelaksanaan tugas
c. Keinginan menggunakan metode baru dalam
pelaksanaan tugas
3. Responsifitas
a. Kemampuan
menyerap aspirasi baru
b. Kemampuan
mengantisipasi dan menghadapi aspirasi baru
c. Kemampuan mengenali kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan
G. Metode
Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian
ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang berupaya mengungkapkan suatu masalah dan keadaan sebagaimana
adanya, untuk itu peneliti dibatasi hanya mengungkapkan fakta-fakta dan tidak
menggunakan hipotesa (Moleong, 2006 : 11). Penelitian deskriptif bertujuan
untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu dan keadaan sosial yang
timbul dalam masyarakat untuk dijadikan sebagai obyek penelitian.
Dalam penelitian ini peneliti menitikberatkan pada
Profesionalisme Aparatur dalam Pelayanan Publik.
2. Unit Analisis
Adapun yang
menjadi Unit Analisis dalam penelitian ini antara lain :
1. Camat
2. Seketaris
Camat
3. Kabag. Pemerintahan
4. Kabag.
Pelayanan Umum
5. Masyarakat
Selanjutnya untuk menentukan
informan dipakai teknik purposive
sampling, yaitu sampel dimana pengambilan elemen-elemen yang dimasukkan
dalam sampel dilakukan sesuai dengan tujuan, dengan catatan bahwa informan
tersebut representatif atau mewakili yang sudah diketahui sebelumnya.
Adapun tempat penelitiannya adalah
di Kecamatan.. Kabupaten ....,Provinsi...
3. Teknik Pengumpulan Data
a.
Observasi
adalah metode pengumpulan data
dimana peneliti mengadakan pengamatan terhadap gejala-gejala subjek yang
diteliti, baik pengamatan itu dilakukan dalam situasi buatan maupun situasi
yang sebenarnya yang khusus diadakan. Dalam observasi ini peneliti akan
mengamati secara langsung bagaimana profesionalisme aparatur dalam pelayanan
publik di kantor kecamatan.
b. Wawancara
(interview)
adalah metode pengumpulan data
dimana peneliti mengumpulkan data dengan cara mengadakan komunikasi secara
langsung dengan subjek penelitian di lokasi penelitian. Wawancara ini dilakukan
karena peneliti ingin mendapatkan informasi yang lebih jelas dan mendalam
mengenai profesionalisme aparatur dalam pelayanan publik.
c. Dokumentasi
adalah metode pengumpulan data
didasarkan pada dokumen-dokumen atau catatan-catatan terakhir yang ada pada daerah
penelitian. Data dapat diperoleh melalui
catatan-catatan resmi seperti peraturan perundanganan, media cetak maupun media
elektronik.
I. Teknik Analisis Data
Adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisir ke dalam suatu pola, kategori dan uraian dasar yang membedakan
dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis,
menjelaskan uraian-uraian dan mencari hubungan diantara dimensi-dimensi uraian.
Untuk menganalisa data, maka
peneliti menggunakan analisis data secara kualitatif, artinya suatu data yang
dianalisa dengan tidak menggunakan data statistik, namun hanya menggunakan
pengukuran yang benar, sehingga dapat dipercaya dan valid hasilnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Dwiyanto, 2006. Reformasi Birokrasi
Publik di Indonesia” Yogyakarta, Gadja
mada University Press.
________,1995.
Kinerja Organisasin Publik, kebijakan dan
Penerapannya, (Makalah).
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2005. “Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional” Jakarta, Balai Pustaka.
Moenir, A. S, 1992.
“Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia” Jakarta, PT. Bumi Aksara,
Moleong,
Lexy, 2004. “Metode Penelitian Kualitatif, edisi revisi”, Bandung,
PT. Remaja
Rosdakarya.
Syafiie, Inu Kencana,
2003. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia,Cetakan Pertama,PT.
Bumi Aksara, Jakarta.
Saiful,.dkk. 2008, “Reformasi
Pelayanan Publik, Malang”, Averroes Press.
Sedarmayanti, 2007. “Manajemen SDM dan Reformasi Birokrasi”,
Bandung, PT. Refika Aditama.
___________,2004, Membangun Manajemen Sistem Kinerja Guna
Meningkatkan Produktivitas Menuju Good Governance (Kepemerintahan yang Baik),
Bandung, Mandar Maju.
Siagian,1994,
“Patologi Birokrasi; Analisis,
Identifikasi dan Terapinya” Jakarta, Ghalia Indonesia.
_____,
1996. “Manajemen sumber Daya Manusia”, Jakarta,
PT. Bumi Aksara.
Syakrani
, 2009. “Implementasi Otonomi Daerah dalam Perspektif ‘good governance’, Banja baru, Pustaka Pelajar.
Tjokrowinoto,
1996. “Pembangunan, Dilema dan Tantangan, Yogyakarta”
PT. Pustaka
Pelajar.
Thoha.
Miftah., Perilaku Organisasi, Rajawali Pers, Jakarta, 1999 (cetakan X)
Widodo,.dkk, 2005. “Pembaharuan
Otonomi Daerah”, Yogyakarta, APMD
Press.
Peraturan
Perundangan :
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Modul AKIP (LAN dan BPKP, 2000 ;
30)
Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999
tentang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8/1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian
__________, 2003.
Keputusan MENPAN No. 63 Tahun 2004 tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum,
Jakarta.
___________,1997. Departemen Dalam
Negeri, Birokrasi di Indonesia, PT. Penebar Swadaya. Jakarta.1997
___________LAN dan BPKP. 2000. Akuntabilitas
dan Good Governance. (AKIP). Jakarta. LAN RI.
___________Permendagri No.4 Tahun 2010 ttg
Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) .
Jurnal
:
_____________Juanda,
2010. “Jurnal Studi Pemerintahan” Volume 1, Nomor 1.
_____________Asrariyah, 2013. “eJournal
Ilmu Pemerintahan” Volume 1, Nomor 1.
_____________Bambang,
2010. “Jurnal Ilmu Administrasi dan
Organisasi” Volume 17, Nomor 1.
Website :
( http://fardinlaia.blogspot.com/2013/05/profesionalisme-aparatur-pemerintah.html)
(www.wikipedia.com)
( http://fardinlaia.blogspot.com/2013/05/profesionalisme-aparatur-pemerintah.html)
(www.wikipedia.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar