Senin, 13 Mei 2013

PROFESIONALISME APARATUR PEMERINTAH

                                                               PROPOSAL PENELITIAN
                                   PROFESIONALISME APARATUR DALAM PELAYANAN PUBLIK
                                                              DI KANTOR KECAMATAN

                       (Suatu Penelitian Deskriptif Kualitatif di Kecamatan Moyudan Kab.Sleman,Prov. D.I.Y)


A.  LATAR BELAKANG
Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan, sistem penyelenggaran pemerintahan dibingkai dalam kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa pergeseran paradigma pemerintahan dari negara sebagai pusat kekuasaan (sentralistik) menuju negara lebih dekat dengan rakyat (desentralistik). Tata kelola pemerintahan tidak lagi berorientasi pada aspek pemerintahan (goverment) akan tetapi beralih ke aspek tata pemerintahan (governance). Disinilah peran strategis birokrasi pemerintah dalam mewujudkan good governance, yang merupakan conditio sine qua non bagi keberhasilan pembangunan. Profesionalisme birokrasi merupakan prasyaratan (prereguisite) mutlak untuk mewujudkan good governance (Tjokowinoto, 2001 ; 3). Upaya untuk mewujudkan good governance memerlukan unsur profesionalisme dari aparatur pemerintah  dalam memberikan pelayanan publik. Profesionalisme disini lebih menekan  kepada kemampuan, keterampilan dan keahlian  aparatur  pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang responsif, transparansi, efektivitas dan efesien.
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah yang demokratis sebagai konsekuensi diberlakukanya undang-undang tersebut, khususnya bagi aparatur pemerintah dituntut untuk lebih profesional didalam menjalankan tugas-tugasnya. Untuk mencapai tujuan publik yang demokratis itu,  tentu kinerja birokrasi harus profesional, dan untuk mencapai profesionalitas birokrasi harus berpegang pada nilai efektivitas dan efesien (Widodo, 2005 ; 315).
 Aparatur yang profesionalisme pada prinsipnya mengandung dua makna yakni sebagai :
1.    Profesi yaitu aparatur dituntut untuk memiliki keterampilan dan keahlian yang dapat diandalkan sebagai penunjang kelancaran pelaksanaan tugas, sedangkan;
2.     Pengabdian yaitu sikap dan tindakan aparatur dalam menjalankan tugas harus senantiasa mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.

Profesionalisme merupakan cerminan keterampilan dan keahlian aparatur yang dapat berjalan efektif apabila didukung dengan kesesuaian tingkat pengetahuan atas dasar latar belakang pendidikan dengan beban kerja yang menjadi tanggung jawabnya dan juga sebagai cerminan potensi diri yang dimiliki aparatur, baik dari aspek kemampuan maupun aspek tingkah laku yang mencakup loyalitas, inovasi, produktivitas dan kreatifitas. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh aparatur pemerintah adalah usaha menampilkan profesionalitas, etos kerja tinggi, keunggulan kompetitif dan kemampuan memegang teguh etika birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aspirasi masyarakat yang bebas dari nuansa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).  Agar birokrasi dapat memberikan pelayanan yang baik, maka diantara sepuluh prinsip good gevernance ada 3 (tiga) nilai administratif – manajerial mendasar yakni : efektifitas, efesiensi dan profesionalisme (Widodo, 2005 ; 315). Namun tata pemerintahan yang baik (good governance) dapat menjadi kenyataan,apabila didukung oleh aparatur yang memiliki profesionalitas tinggi yang mengedepankan terpenuhinya transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas publik, yakni dengan menekan sekecil mungkin pemborosan penggunaan sumber-sumber keuangan pemerintah (negara) dan juga sekaligus memperkuat peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pondasi untuk melaksanakan tugas-tugasnya (Islami, 1998 ; 3). Selanjutnya, menurut Islami (1998; 14-15), Bahwa akuntabilitas dan responsibilitas publik pada hakikatnya merupakan standar profesional yang harus dicapai/dilaksanakan aparat pemerintah dalam memberikan pelayanan dengan daya tanggap yang tinggi sesuai aspirasi masyarakat secara bertanggungjawab atas pelaksanaan tugas-tugasnya. Selain regulasi yang kuat sebagai fondasi dan standar pelayanan birokrasi juga profesionalitas sangat ditentukan oleh kompetensi dan kemampuan aparatur untuk bertindak secara profesional dalam mengemban pekerjaan menurut bidang tugas tingkatan masing-masing. Hasil dari pekerjaan itu lebih ditinjau dari segala segi sesuai dengan porsi, obyek, bersifat terus menerus dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun serta jangka waktu penyelesaian pekerjaan yang relatif singkat (Suit dan Almasdi, 2000; 99).
 Pentingnya profesionalisme aparatur ,sejalan dengan bunyi pasal 3 ayat (1) UU No. 43/1999 tentang tentang Perubahan Atas UU No. 8/1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang menyebutkan bahwa :
“Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk    memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan”
          Hal ini senada dengan pola pengaturan kebijaksanaan personalia di bidang pemerintahan, seperti disebutkan dalam Modul AKIP (LAN dan BPKP, 2000 ; 30), bahwa “salah satu sumber organisasi yang paling penting adalah sumber daya manusia  yang dimiliki oleh instansi pemerintah” Berarti Sumber daya manusia memegang peranan penting dari saat perumusan visi dan misi, hingga pencapaian tujuan dan sasaran organisasi.
        Argumen ini diperkuat oleh  pendapat  Siagian (2000 ; 140) yang mengatakan bahwa “Manusia merupakan unsur penting dalam setiap dan semua organisasi, keberhasilan organisasi mencapai tujuan dan berbagai sasaran serta kemampuannya menghadapi berbagai tantangan, baik yang sifatnya eksternal maupun internal sangat ditentukan oleh kemampuan mengelola sumber daya manusia”. Jadi, tidak berlebihan kata jika Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor penentu berhasil atau sukses tidaknya pencapaian visi, misi dan tujuan sebuah organisai. Oleh karenanya, setiap aparatur pemerintah dituntut untuk dapat melakukan tugas dan fungsinya secara profesional untuk  menghasilkan sejumlah out put yang sesuai dengan tujuan organisasi dan keinginan masyarakat.
 Menurut  UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sebagai upaya peningkatan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dari penyalahgunaan wewenang.  Tetapi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, maka dipandang perlu untuk meningkatkan kapasitas SDM pelayanan, mengingat bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur pelayanan memiliki peran strategis sebagai pendorong (key leverage) dari reformasi birokrasi. Adapun arah kebijakan pembangunan di bidang aparatur negara adalah “meningkatkan profesionalisme, netralitas dan kesejahteraan SDM aparatur. Peningkatan kualitas SDM aparatur diarahkan untuk mewujudkan SDM aparatur yang profesional, netral, dan sejahtera” Hal tersebut  mengindikasikan sangat pentingnya  profesionalitas aparatur  dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik. Kecamatan Sebagai Perangkat Daerah (SKPD) adalah yang terdepan dalam memberikan pelayanan publik sebab pemerintah kecamatan merupakan tingkat pemerintahan yang mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat, hal ini yang kemudian menjadikan camat sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan serta sebagian urusan otonomi yang yang dilimpahkan oleh bupati/walikota untuk dilaksanakan dalam wilayah kecamatan.
Menurut UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004, Kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten/kota. Perubahan fundamental tersebut berpengaruh pada kedudukan kecamatan. Kecamatan semula wilayah merupakan wilayah administrasi pemerintah dengan camat sebagai kepala wilayah/penguasa tunggal ( UU No. 5/1974/UU No.5/1979). Sekarang kecamatan hanya merupakan wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten/kota. Menurut Saduwasistiono (Widodo,2005;190) bahwa Sebagai unsur lini kewilayahan, camat menjalankan tugas pokok  sebagai unsur lini yaitu to do, to ac. Artinya kecamatan dijadikan sebagai pusat pelayanan pada masyarakat yang bersifat operasional dengan batas wilayah sebagai batas pemberian pelayanan. Kecamatan yang merupakan ujung tombak terutama dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat juga tidak terlepas dari permasalahan yang berkenaan dengan kondisi pelayanan yang relatif belum memuaskan. Baik buruknya pelayanan yang diberikan sangat ditentukan oleh tersedianya sumberdaya aparatur pemerintah yang profesional. Berdasarkan Permendagri No.4 Tahun 2010 ttg Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) bahwa  pelayanan publik oleh kecamatan meliputi pelayanan bidang perizinan; dan pelayanan bidang non perizinan dengan maksud dan tujuan yaitu kecamatan sebagai pusat pelayanan masyarakat dan menjadi simpul pelayanan bagi kantor/badan pelayanan terpadu di kabupaten/kota dan untuk meningkatkan kualitas dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Sedangkan berdasarkan Kepmen PAN No. 58 tahun 2002 (Pasolong, 2007:129), bentuk pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dapat dibedakan dalam beberapa jenis pelayanan, yaitu :
1. Pelayanan administratif
Pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa pencatatan, penelitian, dokumentasi dan kegiatan tata usaha lainnya.
Contoh : Sertifikat tanah, IMB, Pelayanan administrasi kependudukan (KTP, akte kelahiran), dan lain sebagainya.
2. Pelayanan barang
Pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa kegiatan penyediaan dan atau pengolahan bahan berwujud fisik.
Contoh: Listrik, pelayanan air bersih, pelayanan telepon, dan lain sebagianya.
3. Pelayanan jasa
Pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa sarana dan prasarana serta penunjangnya.    
Contoh : Pelayanan angkutan darat/air/udara, pelayanan kesehatan, perbankan, pos, dan lain sebagainy.
Kecamatan sebagai organisasi instansi pemerintah  yang menyelenggarakan pelayanan publik khususnya yang berkaitan dengan Perijinan maupun non perizinan, (KTP/e-KTP, KK, Akte kelahiran/kematian, Surat Tanah / Ahli Waris, IMB serta kebutuhan lainya) juga dituntut bekerja secara professional serta mampu secara cepat merespon aspirasi dan tuntutan publik dan perubahan lingkungan lainnya dengan cara kerja  birokrasi yang lebih berorientasi kepada masyarakat dari pada berorientasi kepada atasan.
Namun kenyataannya, aparatur pemerintah di Indonesia  khususnya aparatur pemerintah kecamatan secara empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini masih bercirikan berbelit-belit, lambat, mahal, dan melelahkan. Kecenderungan seperti itu terjadi karena masyarakat masih diposisikan sebagai pihak yang “melayani” bukan yang dilayani. Banyaknya pengaduan dan keluhan dari masyarakat kepada Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) seperti menyangkut prosedur dan mekanisme kerja pelayanan yang berbelit-belit, lambat, tidak adil dalam memberikan pelayanan, kurang informatif, kurang akomodatif,  kurang konsisten, terbatasnya fasilitas, sarana dan prasarana pelayanan, tidak menjamin kepastian (hukum, waktu, dan biaya) serta masih banyak dijumpai praktek pungutan liar serta tindakan-tindakan yang berindikasi penyimpangan dan KKN. Berbagai Patologi  birokrasi ini akan mencerminkan kurangnya  profesionalisme  aparatur pemerintah dalam menjalankan tugasnya serta menunjukkan semakin  buruknya kinerja aparatur dalam memberikan pelayanan publik. Aparatur dengan prosedur berbelit-belit (birokratis), tidak adanya kepastian, kurang transparan, lamban dengan disertai adanya pemungutan biaya tambahan diluar biaya resmi. Akibat yang dapat dilihat sekarang banyak masyarakat pengguna jasa pemerintah sering dihadapkan pada begitu banyak ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan aparat birokrasi (Dwiyanto, dan Kusumasari, 2000; 7).  Berkaitan dengan teridentifikasinya sedikit patologi diantara sekian banyak patologi birokrasi Indonesia yang pada akhirnya membuat birokrasi menjadi tidak responsif dan inovatif. Adanya berbagai macam keluhan dan tuntutan perbaikan yang diajukan oleh masyarakat pengguna jasa kepada aparat birokrasi terlihat bahwa secara umum kinerja birokrasi indonesia dalam menjalankan fungsi pelayanan publik masih jauh dari harapan bagi terwujudnya birokrasi yang yang responsif, efesien, dan publik akuntabel (Dwiyanto,.dkk. 2006;228). Selain kenyataan lain di lapangan, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, para pegawai masih jauh dari kata profesionali. Seringkali apabila ada masyarakat yang membutuhkan pelayanan dengan meminta kejelasan  proses, prosedur dan biaya pelayanan tetapi terkadang tidak dipedulikan. Aparatur pemerintah  kurang mampu dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintah yang mempunyai kredibilitas yang tinggi, sehingga semakin banyaknya proses pelayanan yang diberikan kepada masyarakat menjadi relatif kurang optimal (Dwiyanto, 2005 ; 68). Profesionalisme  yang belum membudaya di institusi ini membuat aparatnya  berinisiatif untuk recode kode-kode genetika sukses berkarya. (Syakrani & shariani, 2009 : 4). Tuntutan administrative accountability yang melebihi tuntutan social accountability mendorong institusi ini merasa tidak butuh kreativitas, inovasi, entrepreneur spirit,terobosan, challenging the processes dalam menjalankan fungsinya. Argumen lain yang dikemukakan oleh Siagian (1994;44 ) mengenai Patologi birokrasi mempertahankan status quo dalah rasa takut menghadapi perubahan tidak mau inovatif dan tidak mau mengambil resiko. Oleh karena kemampuan kerja yang sangat terbatas membuat aparatur tidak inovatif. Akibat sikap yang tidak inovatif antara lain mempertahankan mekanisme, prosedur dan tekbik- teknik yang sudah lama digunakan meskipun sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan masyarakat dalam meningkatkan produktivitas, efesiensi dan efektivitas kerja organisasi. Kemampuan teknis yang dimiliki aparatur masih kurang terutama dalam mengoperasikan alat-lat  teknologi informasi. Loyalitasan aparatur masih terlalu birokrasi dan kaku sehingga kurang memunculkan kreativitas dan inovasi. Artinya Selama ini penyelenggaraan pemerintah belum sepenuhnya menunjang terwujudnya good governance, maka birokrasi perlu diperbaiki. Jadi, harus ada suatu reformasi birokrasi nasional yang benar-benar didukung kuat oleh segenap komponen bangsa, dengan menempatkankan kelembagaan birokrasi yang perlu ditata, sebagai struktur penopangnya yang kuat dan proposional. Disana sumber daya manusia diberi ruang membangun kompetensi dan profesionalitasnya, antara lain melalui peningkatan kedisplinan dalam segala maknanya yang erat dengan penerapan prinsip meritokrasi (Sedermayanti, 2007;330 ). Secara konseptual, kualitas tinggi dan kekenyalan terus menerus dalam  mengurus organisasi dan tata pemerintahan yang baik terkait dengan sikap profesionalisme aparatur dalam merespon  kebutuhan dan harapan masyarakat (masyarakat indonesia yang demokratis dan desentralisasi) yang dipengaruhi perkembangan (tantangan dan peluang) lingkungan strategis nasional, regional dan global. Berkarya secara profesional mengandung makna bahwa seseorang benar-benar memahami seluk beluk tugasnya secara mendalam (Siagian, 1994;123). Tuntutan masyarakat yang semakin pesat, menjadi kewajiban aparatur berkarya dalam penyelenggaraan pemerintah untuk meningkatkan profesionalitasnya  dibidang tugas yang dipercayakan kepadanya, sebab dengan demikian kreatifitas dan produktivitas kerja dapat ditingkatkan.
Berdasarkan dari uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian  dengan judul “PROFESIONALISME APARATUR DALAM PELAYANAN PUBLIK DI KANTOR KECAMATAN”
B.  RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas,maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut “BAGAIMANA PROFESIONALISME APARATUR DALAM PELAYANAN PUBLIK DI KANTOR KECAMATAN”

C.  TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Ø  Bertujuan untuk mengetahui  Profesionalisme Aparatur dalam Pelayanan Publik di Kantor Kecamatan.
    2. Manfaat Penelitian
Ø Manfaat teoritis,  untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta wawasan dalam membandingkan teori yang diperoleh diperkuliahan serta aplikasinya dengan kenyataan yang terjadi dilapangan.
Ø Manfaat praktis,  hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan rujukan kkhususnya bagi pemerintah kecamatan untuk meningkatkan profesionalisme aparatur dalam pelayanan publik.

D.  KERANGKA TEORI
1.    Konsep Profesionalisme Aparatur
a.    Pengertian Profesionalisme
Istilah profesionalisme dapat diartikan sebagai suatu kemampuan dan keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut bidang dan tingkatan masing-masing.
Menurut  Korten & Alfonso (Tjokrowinoto, 1996;178) yang dimaksud dengan Profesionalisme adalah “kecocokan (fitness) antara kemampuan yang dimiliki oleh birokrasi (bureaucratic-competence) dengan kebutuhan tugas (task-requirement), merencanakan, mengkordinasikan, dan melaksanakan fungsinya secara efisien, inovatif, lentur, dan mempunyai etos kerja tinggi”. Menurut pendapat tersebut, kemampuan aparatur lebih diartikan sebagai kemampuan melihat peluang-peluang yang ada bagi pertumbuhan ekonomi, kemampuan untuk mengambil langkah-langkah yang perlu dengan mengacu kepada misi yang ingin dicapai dan kemampuan dalam meningkatkan kemampuan masyarakat untuk tumbuh kembang dengan kekuatan sendiri secara efisien, melakukan inovasi yang tidak terikat kepada prosedur administrasi, bersifat fleksibel, dan memiliki etos kerja tinggi.
Menurut Departemen Dalam Negeri (2004;13) adalah merupakan kehandalan dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu tinggi, waktu yang tepat, cermat dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh pelanggan.  Hal senada seperti yang dikemukakan oleh Siagian (2009;163) profesionalisme adalah “Keandalan dan keahlian dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu tinggi, waktu yang tepat, cermat, dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh pelanggan”. Pendapat tersebut diperkuat oleh Sedarmayanti (2004;157) mengungkapkan bahwa, “Profesionalisme adalah suatu sikap atau keadaan dalam melaksanakan pekerjaan dengan memerlukan keahlian melalui pendidikan dan pelatihan tertentu dan dilakukan sebagai suatu pekerjaan yang menjadi sumber penghasilan.” Terbentuknya aparatur profesional memerlukan keahlian dan keterampilan khusus yang dibentuk melalui pendidikan dan pelatihan sebagai instrumen pemutakhiran. Jadi dengan keahlian dan keterampilan khusus yang dimiliki oleh aparatur memungkinkan terpenuhinya kecocokan antara kemampuan aparatur dengan kebutuhan tugas merupakan syarat terbentuknya aparatur yang profesional. Artinya keahlian dan kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi. Apabila suatu organisasi berupaya untuk memberikan pelayanan publik secara prima maka organisasi tersebut mendasarkan profesionalisme terhadap tujuan yang ingin dicapai. Pandangan lain yang dikemukakan oleh  Dwiyanto (2011;157) mengatakan profesionalisme adalah “Paham atau keyakinan bahwa sikap dan tindakan aparatur dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan selalu didasarkan pada ilmu pengetahuan dan nilai-nilai profesi aparatur yang mengutamakan kepentingan publik.  Profesionalisme aparatur dalam hubungannya dengan organisasi publik menurut digambarkan sebagai, “Bentuk kemampuan untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda, memprioritaskan pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat atau disebut dengan istilah resposivitas. (Kurniawan, 2005:79). Sedangkan dalam pandangan Tjokrowinoto (1996:191) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan profesionalisme adalah kemampuan untuk untuk menjalankan tugas dan menyelenggarakan pelayanan publik dengan mutu tinggi, tepat waktu, dan prosedur yang sederhana. Artinya dibutuhkan tindakan aparatur bekerja secara profesional meningkatkan kualitas pelayanan dengan prinsip-prinsip pelayanan yang responsif, efektif dan efesien untuk mencapai misi dan tujuan organisasi. Maka diharapakan sikap aparatur dalam melaksanan bidang tugas/ pekerjaan masin-masing dengan optimal dan akuntabilitas publik agar masyarakat yang dilayani merasa terpenuhi kebutuhanya.  Joko Widodo (2007 : 89) memberikan penekanan kepada pentingnya kualitas pelayanan pegawai oleh organisasi publik yang lebih professional efektif, efesien, sederhana, transparan terbuka, tepat waktu, responsive dan adaptif.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa profesionalisme  adalah  kemampuan , keahlian atau keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan dengan kreatif, inovatif dan responsif serta memiliki kualitas,mutu tinggi.
Pentingnya kemampuan aparatur dalam beradaptasi terhadap perubahan lingkungan eksternal dan internal organisasi dijadikan tolak-ukur dalam melihat profesionalisme birokrasi. Menurut (Ancok, 2000) dijelaskan tentang pengukuran profesionalisme antara lain : kemampuan beradaptasi, kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan fenomena global dan fenomena nasional; Mengacu kepada misi dan nilai (mission & values-driven professionalism), Birokrasi memposisikan diri sebagai pemberi pelayanan kepada publik dan dalam mewujudkan tujuan organisasi yang berorientasi kepada hasil yang ingin dicapai organisasi. Profesionalisme dalam pandangan (Korten dan Alfonso,1981) diukur melalui keahlian yang dimiliki oleh seseorang yang sesuai dengan kebutuhan tugas yang dibebankan organisasi kepada seseorang. Artinya bahwa disiplin ilmu atau keahlian sesesorang  harus sesuai tugas yang diembannya jika tidak maka akan berdampak pada kefakuman fungsional birokrasi.
Pandangan lain oleh Tjokrowinoto (1996;190), mengatakan birokrasi dapat dikatakan profesional atau tidak, diukur melalui kompetensi sebagai berikut;
a.       Profesionalisme yang Wirausaha (Entrepreneurial - Profesionalism) yaitu  kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang ada bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional, keberanian mengambil risiko dalam memanfaatkan peluang, dan kemampuan untuk menggeser alokasi sumber dari kegiatan yang berproduktifitas rendah ke produktifitas tinggi yang terbuka dan memberikan peluang bagi terciptanya lapangan kerja dan peningkatan pendapatan nasional.
b.      Profesionalisme yang Mengacu Kepada Misi Organisasi (Mission-driven Profesionalism) yaitu  kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah langkah yang perlu dan mengacu kepada misi yang ingin dicapai (mission-driven professionalism), dan tidak semata mata mengacu kepada peraturan yang berlaku (rule-driven professionalism).
c.       Profesionalisme Pemberdayaan (Empowering-Profesionalism artinya kemampuan ini diperlukan untuk aparatur pelaksana atau jajaran bawah (grassroots) yang berfungsi untuk memberikan pelayanan publik (service provider). Profesionalisme yang dibutuhkan dalam hal ini adalah profesionalisme-pemberdayaan (empowering-prefesionalism) yang sangat berkaitan dengan gaya pembangunan.
Dalam konsep ini birokrasi berperan sebagai fasilitator atau meningkatkan kemampuan masyarakat untuk tumbuh berkembang dengan kekuatan sendiri.

Menurut Siagian (2000) bahwa Profesionalisme diukur dari segi kecepatannya dalam menjalankan fungsi dan mengacu kepada prosedur yang telah disederhanakan. Artinya konsep profesionalisme dalam diri aparat diukur dari segi;
a.       Kreatifitas (creativity) yaitu kemampuan aparatur untuk menghadapi hambatan dalam memberikan pelayanan kepada publik dengan melakukan inovasi. Hal ini perlu diambil untuk mengakhiri penilaian miring masyarakat kepada birokrasi publik yang dianggap kaku dalam bekerja. Terbentuknya aparatur yang kreatif hanya dapat terjadi apabila; terdapat iklim yang kondusif yang mampu mendorong aparatur pemerintah untuk mencari ide baru dan konsep baru serta menerapkannya secara inovatif; adanya kesediaan pemimpin untuk memberdayakan bawahan antara lain melalui partisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pekerjaan, mutu hasil pekerjaan, karier dan penyelesaian permasalahan tugas.
b.      Inovasi (innovasi), Perwujudannya berupa hasrat dan tekad untuk mencari, menemukan dan menggunakan cara baru, metode kerja baru, dalam pelaksanaan tugasnya. Hambatan yang paling mendasar dari perilaku inovatif adalah rasa cepat puas terhadap hasil pekerjaan yang telah dicapai.
c.       Responsifitas (responsivity) yaitu kemampuan aparatur dalam mengantisipasi dan menghadapi aspirasi baru, perkembangan baru, tuntutan baru, dan pengetahuan baru, birokrasi harus merespon secara cepat agar tidak tertinggal dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Menurut Solihin (2007) : wujud nyata kompetensi dapat dilihat dari upaya penilaian dari prinsip profesionalisme dan kebutuhan serta evaluasi yang dilakukan terhadap tingkat kemampuan dan profesionalisme SDM yang ada.
Kondisi birokrasi indonesia saat ini yang semakin terpuruk dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat membuat kinerja aparatur dalam memberikan pelayanan publik merupakan tuntutan utama publik, sehingga sangat diharapkan unsur profesionalisme aparatur  yang dilakukan secara kreatif , inovatif dan responsif artinya memilikia kualifikasi dibidangnya untuk dapat beradaptasi pada perubahan lingkungannya serta mampu mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Terabaikannya unsur profesionalisme dalam menjalankan tugas dan fungsi organisasi pemerintahan akan berdampak kepada menurunnya kualitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Profesionalisme disini lebih ditujukan kepada kemampuan aparatur dalam memberikan pelayanan yang baik, adil, dan inklusif dan tidak hanya sekedar kecocokan keahlian dengan tempat penugasan. Sehingga aparatur dituntut untuk memiliki kemampuan dan keahlian untuk memahami dan menterjemahkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat kedalam kegiatan dan program pelayanan.
1.      Kreatifitas (creativity)
2.      Inovasi (innovasi)
3.      Responsifitas (responsivity).
Jadi, indikator minimal untuk mengukur profesionalisme adalah berkinerja tinggi; taat asas; kreatif, inovatif, kreatifitas artinya memiliki kualifikasi di bidangnya. Sedangkan perangkat pendukung Indikator adalah standar kompetensi yang sesuai dengan fungsinya; kode etik profesi; sistem reward and punishment yang jelas; sistem pengembangan sumber daya manusia (SDM); dan standar indikator kinerja.
      1. Konsep Kreatifitas
Kemampuan aparatur untuk menghadapi masalah  dalam memberikan pelayanan kepada publik jika sebuah masalah telah terpecahkan akan kesulitan telah teratasi atau jika sesuatu yang baru telah diciptakan sesuatu yang baru telah di ciptakan atau sesuatu yang lama telah mengalami penyesuaian berarti kreativitas telah bekerja (Petty, 1997). Menurut Munandar bahwa kreativitas adalah kemampuan mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibilitas) dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci) suatu gagasan(dalam Irwanto, 2002 : 185) Artinya kreatifitas menciptakan hal-hal yang baru sangatlah penting dalam memberikan solusi dari berbagai masalah dinamika organisasi khususnya bagi instansi pemerintah misalkan kemampuan aparatur dalam menyelasaikan hambatan yang berkaitan dengan pelayanan publik yang masih bersifat statis (mampu beradaptasi) atau aturan lama yang masih diterapkan tetapi sudah tidak relevan dengan tuntutan masyarakat masa kini. Kreativitas juga dapat menjadi cerminan potensi seseorang dalam membangun ide, gagasan untuk dikembangkan dan perkaya untuk menciptakan sebuah inovasi. Pendapat  Rogers (dalam Munandar, 2004) bahwa sumber dari kreativitas adalah kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri, mewujudkan potensi, dorongan untuk berkembang dan menjadi matang, kecenderungan untuk mengekspresikan dan mengaktifkan semua kemampuan organisme.
2.      Konsep Responsifitas.
Kemampuan aparatur dalam mengantisipasi dan menghadapi aspirasi baru, perkembangan baru, tuntutan baru, dan pengetahuan baru, dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat
Menurut Lenvine dkk,1990 (Dwiyanto,1995;7) bahwa yang dimaksud dengan responsifitas adalah: kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi publik. Artinya responsifitas berkaitan dengan kecocokan dan keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Sedangkan menurut (Siagian,2000;165) yang dimaksud dengan responsifitas adalah : Sebagai bentuk kemampuan birokrasi dalam mengantisipasi dan menanggapi aspirasi baru, kebutuhan baru dan tuntutan baru dari masyarakat. Aparatur pemerintah diharapkan memiliki kemampuan dalam merespon dan mengantisipasi segala bentuk aspirasi masyarakat untuk kemudian aspirasi baru masyarakat diakomodir sebagai  issu perumusan kebijakan pemerintah dalam program-program pelayanan publik. Sedangkan kegiatan pelayanan adalah merupakan bentuk dari kewajiban birokrasi dan pengabaian terhadap hal tersebut akan berdampak kepada kekecewaan masyarakat yang pada gilirannya mungkin berakibat kepada timbulnya “krisis kepercayaan” kepada pemerintah.
Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan responsifitas merupakan kemampuan aparatur dalam mencermati perubahan lingkungan (Tuntutan kebutuhan publik, kemajuan teknologi) dan merealisasikannya dalam bentuk program dan pelayanan yang berorientasi kepada masyarakat.
3.      Konsep inovasi.
Kemampuan apartur dalam memecahkan masalah-masalah pelayanan publik yang sering berkaitan dengan profesionalisme aparatur. Inovasi merupakan kelanjutan dari sebuah kreatifitas birokrasi melalui respon yang ada dari perubahan lingkungan. Inovasi dalam dunia birokrasi publik seringkali menghadapi hambatan dan benturan dari keberadaan aturan formal dan rendahnya sikap pemimpin yang visioner dalam lingkungan birokrasi publik. Inovasi menunjukkan bahwa birokrasi menemukan dan melakukan proses kerja baru yang bertujuan untuk menjadikan pekerjaan dan pelayanan menjadi lebih baik. Argument tersebut diperkuat oleh Ashkens dkk,1995 (Thoha,1997;16)  bahwa suatu organisasi yang profesional dan modern berusaha untuk selalu berorientasi kepada pelanggan (publik) dan berusaha mendorong dan menghargai kreatifitas anggota. Kondisi dimana birokrasi publik Indonesia dewasa ini dihadapkan dengan lingkungan kerja yang tidak kondusif bagi terciptanya inovasi dan kurang menghargai kreatifitas yang ada di dalamnya. Inovasi tidak hanya bertujuan untuk menciptakan suatu model kerja baru tetapi juga bertujuan untuk mencapai suatu kepuasan kerja bagi individu maupun organisasi dan kepuasan pelayanan bagi masyarakat. Upaya melakukan sebuah inovasi dalam lingkungan birokrasi pemerintah perlu mendapat dukungan penghargaan terhadap setiap kinerja aparatur sehingga lebih termotivasi lagi dalam melakukan pekerjaan dan lebih cenderung mendukung setiap aparatur berkretifitas menemukan hal-hal yang baru serta meminimalisir segala bentuk hambatan misalkan proses kerja yang sangat prosedural dan birokratis juga pada aturan baku yang berkaitan dengan tugas dan fungsi organisasi.
Dari pendapat diatas bahwa  inovasi menjadi sangat urgensi dilakukan dalam menghadapi perubahan lingkungan yang dinamis yang disebakan oleh pengaruh modernisasi dan globalisasi saat ini, serta segala bentuk penghargaan, insentif bagi birokrat guna meningkatkan kompetisi serta gairah aparat dalam menjalan tugas dan fungsi organisasi.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalisme. Salah satu faktor yang menghambat kelancaran dan efektifitas birokrasi publik adalah tidak profesionalnya aparatur birokrasi publik dalam menjalankan fungsi dan tugas. Menurut (Siagian,2000,164) faktor-faktor yang menghambat terciptanya aparatur yang profesional antara lain lebih disebabkan oleh ; profesionalisme aparatur sering terbentur dengan tidak adanya iklim yang kondusif dalam dunia birokrasi untuk menanggapi aspirasi masyarakat dan tidak adanya kesediaaan pemimpin untuk memberdayakan bawahan. Kurangnya pemberdayaan aparatur membuat semakin tidak dapat kreatif menghadapi berbagai masalah pelayanan publik akibat tidak berperannya pemimpin sebagai pengarah (katalisator) bagi bawahan serta regulasi organisasi mengenai struktur dan prosedur kerja birokrat yang sangat birokratis juga membuat aparat menjadi tidak responsif, kaku. Lebih lanjut dikemukakan oleh Tjokrowinotono, (1996;193) bahwa: profesionalisme tidak hanya cukup dibentuk dan dipengaruhi oleh keahlian dan pengetahuan agar aparat dapat menjalankan tugas dan fungsi secara efektif dan efisien,akan tetapi juga turut dipengaruhi oleh filsafat-birokrasi, tata-nilai, struktur, dan prosedur-kerja dalam birokrasi. Untuk mewujudkan aparatur yang professional diperlukan political will dari pemerintah untuk melakukan perubahan besar dalam organisasi birokrasi publik agar dapat bekerja secara profesional dan responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan publik  (Tjokrowinoto,1996;193) . Perubahan tersebut meliputi perubahan filsafat atau paradigma  organisasi dalam mencapai tujuan yang dimulai dengan merumuskan visi dan misi yang ingin dicapai dan dijalankan oleh organisasi, membangun struktur yang flat dan tidak terlalu hirarkis serta prosedur kerja yang tidak terlalu terikat kepada aturan formal. Sedangkan menurut (Numberi;2000) sebagai upaya untuk merespon aspirasi publik yang juga sebagai bagian dari perubahan lingkungan maka perlu diambil tindakan sebagai berikut : Serangkaian tindakan yang perlu ditempuh pemerintah untuk merespon aspirasi publik dan perkembangan lingkungan dengan serangkaian tindakan efisiensi yang meliputi penghematan struktur organisasi, penyederhanaan prosedur, peningkatan profesionalisme aparatur menuju peningkatan pelayanan publik. Untuk melakukan perubahan dalam organisasi dan meningkatkan profesionalisme aparatur maka penting untuk merumuskan visi, misi dan tujuan organisasi. Akibat modernisasi yang terjadi seperti perubahan sikap dan mentalitas masyarakat sebagai warga masyarakat hidup sesuai tuntutan masa kini serta kemajuan teknologi yang demikian pesatnya akibat arus globalisasi mengakibatakan perubahan dalam berbagai segi dan aspek kehidupan. Sebagai konsekuensi terhadap perubahan lingkungan tersebut menuntut aparat untuk bekerja lebih profesional dalam mensukseskan rencana program pemerintah.
Dari beberapa uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang mempengaruhi profesionalisme aparatur antara lain ; fungsional pemimpin dalam pemberdayaan aparatur (bawahan) , budaya atau paradigma organisasi, visi, misi dan tujuan organisasi serta sistem organisasi (struktur/prosedur kerja) dan sistem insentif. Namun faktor-faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi profesionalisme aparatur antara lain adalah:
a. Visi-Misi Organisasi.
b. Struktur Organisasi.
c. Kepemimpinan.
d. Penghargaan.
     b. Aparatur
Aparatur merupakan perangkat/alat kelengkapan negara terutama meliputi bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, kepegawaian  yang mempunyai tanggungjawa melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari. Aparatur juga sebagai pelaksana roda birokrasi.
Menurut Sedarmayanti (2009 : 319-320) bahwa. Birokrat adalah :
1.    Birokrat adalah pegawai yang bertindak secara birokratis
2.    Birokrat antara lain ;
a.    Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan
b.    Cara kerja dan atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya. 
c.    Birokrasi sering melupakan tujuan yang sejati, karena terlalu mementingkan cara dan bentuk. Ia menghalangin pekerjaan yang cepat serta menimbulkan semangat menanti, menghilangkan inisiatif, terikat pada peraturan yang rumit dan bergantung pada perintah atasan, berjiwa statis dan karena itu menghambat kemajuan (sedarmayanti, 2009 : 319-320)
Pendapat di atas, birokrat dapat diartikan yang bertindak secara birokratis yang   Menjunjung tinggi nilai-nilai secara sistematis  Artinya, Kemajuan bukanlah sesuatu yang ditargetkan karena terlalu terpaku pada aturan yang ada. Aparatur sebagai pelaksanan jalannya birokrasi sering melupakan tujuan pemerintah sebagai pelayan masyarakat dan Aparatur lebih memprioritaskan kepada bentuk organisasi dan cara-cara yang sering dilaksanakan sehingga tidak mampu beradaptasi pada perubahan lingkungannya
Menurut Weber (Wijaya, 1993;25) menjelaskan tentang batasan / defenisi tentang birokrasi bahwa “Birokrasi adalah suatu sistem otoritas yang ditetapkan secara rasional oleh  berbagai peraturan, dengan demikian birokrasi dimaksudkan untuk  mengorganisasi secara teratur suatu  pekerjaan yang dilakukan oleh banyak  orang” Sedangkan menurut Mark ( Wijaya, 1993; 25 ) lebih lanjut menjelaskan bahwa “Birokrasi sebagai  Life orgasasi yangdipergunakan  pemerintah modern untuk  pelaksanaan tugas – tugasnya yang bersifat spesisialsasi dilaksanakan dalam sistem adminitrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah”
 Defenisi birokrasi di atas, pada hakikat nya birokrasi merupakan  institusi dalam mekanisme pemerintah yang netral, sebab fungsi dasar birokrasi menurut lingkup ilmu–ilmu administrasi publik adalah sebagai pelaksana (actuating) sedangkan fungsi–fungsi administasi lainnya seperti perencanaan (plainning), pengorganisasian (organizing) dan pengawasan (controling) dilakukan oleh institusi –institusi lainnya bersifat politis.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Aparatur adalah Birokrat (pegawai pemerintah) seorang yang menjadi bagian birokrasi, mempunyai tanggungjawab menjalankan roda pemerintahan sesuai tugas dan fungsi yang diatur dalam peraturan perundangan.
2. Pelayanan publik
Pelayanan adalah cara melayani, membantu menyiapkan dan mengurus, menyelesaikan keperluan kebutuhan seseorang atau sekelompok orang artinya objek yang dilayani adalah individu, pribadi,=-pribadi dan kelompok organisasi. (Sianipar, 1998). Sedangkan publik dapat diartikan sebagai masyarakat atau rakyat.
Menurut Saiful, 2008 : 3,  Pelayanan publik adalah pelayanan atau pemberian terhadap masyarakat pengguna fasilitas-fasilitas umum, baik jasa maupun non jasa, yang dilakukan oleh organisasi publik dalam hal ini adalah suatu pemerintahan. Pelayanan publik dengan demikian merupakan segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara dan penduduk atau suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayan yang terkait pelayanan publik.
Menurut Syafiie (2003 : 116) pelayanan terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu sebagai berikut :
1. Biaya relatif lebih rendah
2. Waktu untuk mengerjakan relatif cepat
3. Mutu yang diberikan relatif bagus
Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 dijelaskan sendi-sendi pelayanan prima:
1.    Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
2.    Kejelasan dari kepastian; adanya kejelasan dan kepastian mengenai;
a.    Prosedur/tata cara pelayanan umum.
b.    Persyaratan pelayanan umum baik teknis maupun administrasi.
c.    Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam  memberikan pelayanan umum.
d.   Rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya.
e.    Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum.
f.     Hak dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima pelayanan umum
g.    Pejabat yang menerima keluhan masyarakat apabila terdapat sesuatu yang tidak jelas dan atau tidak puas atas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
h.    Keamanan dalam arti bahwa proses hasil pelayanan umum dapat memberikan kemananan dan kenyamana serta dapat memberikan kepastian hukum;
3.    Keterbukaan dalan arti prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya/tariff dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta;
5. Efisiensi dalam:
a.    Persyaratan pelayanan umum dibatasi hanya pada hal-hal yang berkaitan langsung  dengan pecapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan;
b.      Dicegah adanya penanggulangan kelengkapan persyaratan pada konteks yang sama dalam hal proses pelayanannya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait;
6. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan :
a. Nilai barang atau jasa pelayanan umum/ tidak menuntut biaya di luar kewajaran;
b. Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum;
c. Ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
7. Keadilan yang merata, dalam arti cakupan atau jangkuan pelayanan umum harus  diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan secara adil;
8. Ketetapan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam waktu  yang telah ditentukan.
               Dengan demikian, pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. Oleh karena pada hakikatnya negara dalam hal ini pemerintah (birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (Sinambela,2006;5). Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat seyogianya mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu pelaksaan urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik. Sejalan dengan itu pendapat A.S. Moenir (1992 : 120), mengemukakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha memenuhi kebutuhan orang lain sesuai dengan haknya.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pelayanan publik adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang/ kelompok atau organisasi tertentu untuk membantu memfasilitas kebutuhan masyarakat umum, dengan asas keadilan (hak dan kewajiban), fleksibel, transparansi, efisiensi dan kepastian (biaya dan hukum) sesuai peraturan yang berlaku.
 
E.  Definisi Konsep
Merupakan definisi dari apa yang perlu dicermati, konsep juga menentukan antar variable-variabel mana kita ingin menentukan hubungan empiris serta  dipergunakan untuk memberikan  suatu batasan dari berbagai konsep secara tegas dan tuntas. Untuk mendapatkan batasan defenisi yang lebih jelas dari masing-masing konsep, maka peneliti mengemukakan defenisi dari beberapa konsep yang digunakan yaitu:
1. Profesionalisme Aparatur
Ø Profesionalisme  adalah  kemampuan , keahlian atau keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan dengan kreatif, inovatif dan responsif serta memiliki kualitas,mutu tinggi.
Ø Aparatur adalah Birokrat (pegawai pemerintah) seorang yang menjadi bagian birokrasi, mempunyai tanggungjawab menjalankan roda pemerintahan sesuai tugas dan fungsi yang diatur dalam peraturan perundangan. 
2.    Pelayanan Publik
adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang/ kelompok atau organisasi tertentu untuk membantu memfasilitas kebutuhan masyarakat umum, dengan asas keadilan (hak dan kewajiban), fleksibel, transparansi, efisiensi dan kepastian (biaya dan hukum) sesuai peraturan yang berlaku.

F.   Defenisi Operasional
 adalah suatu unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu  variabel. Sedangkan arti dari variabel itu sendiri adalah suatu karakteristik yang mempunyai variasi nilai atau ukuran.
       Untuk menggambarkan Profesionalisme Aparatur dalam Pelayanan Publik di Kantor Kecamatan... dapat dilihat dari indikator sebagai berikut :
1.    Kreatifitas
a.    Kemampuan mengantisipasi dan menghadapi masalah  dalam pelayanan
b.    Kemampuan menciptakan solusi dalam pelayanan
c.    Kemampuan  mengembangkan ide baru dalam pelayanan
     2. Inovasi
a.  Keinginan untuk berkembang dan mengembangkan diri dalam pelaksanaan  tugas
b. Hasrat dan tekad mencari dan menemukan metode baru dalam  pelaksanaan  tugas
c. Keinginan menggunakan metode baru dalam pelaksanaan tugas
3. Responsifitas
a.    Kemampuan menyerap aspirasi baru  
b.    Kemampuan mengantisipasi dan menghadapi aspirasi baru
          c. Kemampuan mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas  pelayanan

G. Metode Penelitian
     1. Jenis Penelitian
      Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berupaya mengungkapkan suatu masalah dan keadaan sebagaimana adanya, untuk itu peneliti dibatasi hanya mengungkapkan fakta-fakta dan tidak menggunakan hipotesa (Moleong, 2006 : 11). Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu dan keadaan sosial yang timbul dalam masyarakat untuk dijadikan sebagai obyek penelitian.
Dalam penelitian ini peneliti menitikberatkan pada Profesionalisme Aparatur dalam Pelayanan Publik.
2.  Unit Analisis
Adapun yang menjadi Unit Analisis dalam penelitian ini antara lain :
         1. Camat                                                                                                                     
2.    Seketaris Camat                                                                                                     
3.    Kabag. Pemerintahan                                                                                            
4.    Kabag. Pelayanan Umum
5.    Masyarakat
                                                                                                                               
Selanjutnya untuk menentukan informan dipakai teknik purposive sampling, yaitu sampel dimana pengambilan elemen-elemen yang dimasukkan dalam sampel dilakukan sesuai dengan tujuan, dengan catatan bahwa informan tersebut representatif atau mewakili yang sudah diketahui sebelumnya.
Adapun tempat penelitiannya adalah di Kecamatan.. Kabupaten  ....,Provinsi...
3. Teknik Pengumpulan Data
          a. Observasi
adalah metode pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan terhadap gejala-gejala subjek yang diteliti, baik pengamatan itu dilakukan dalam situasi buatan maupun situasi yang sebenarnya yang khusus diadakan. Dalam observasi ini peneliti akan mengamati secara langsung bagaimana profesionalisme aparatur dalam pelayanan publik di kantor kecamatan.
b. Wawancara (interview)
adalah metode pengumpulan data dimana peneliti mengumpulkan data dengan cara mengadakan komunikasi secara langsung dengan subjek penelitian di lokasi penelitian. Wawancara ini dilakukan karena peneliti ingin mendapatkan informasi yang lebih jelas dan mendalam mengenai profesionalisme aparatur dalam pelayanan publik.
c.  Dokumentasi
adalah metode pengumpulan data didasarkan pada dokumen-dokumen atau catatan-catatan terakhir yang ada pada daerah penelitian.  Data dapat diperoleh melalui catatan-catatan resmi seperti peraturan perundanganan, media cetak maupun media elektronik.
I. Teknik Analisis Data
Adalah proses mengatur urutan data, mengorganisir ke dalam suatu pola, kategori dan uraian dasar yang membedakan dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan uraian-uraian dan mencari hubungan diantara dimensi-dimensi uraian.
Untuk menganalisa data, maka peneliti menggunakan analisis data secara kualitatif, artinya suatu data yang dianalisa dengan tidak menggunakan data statistik, namun hanya menggunakan pengukuran yang benar, sehingga dapat dipercaya dan valid hasilnya.


                                                                DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia”  Yogyakarta, Gadja mada   University Press.
________,1995. Kinerja Organisasin Publik, kebijakan dan Penerapannya, (Makalah).
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005. “Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional” Jakarta, Balai Pustaka.
Moenir, A. S, 1992. “Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia” Jakarta, PT. Bumi Aksara,
Moleong, Lexy, 2004. “Metode Penelitian Kualitatif, edisi revisi”, Bandung,  PT. Remaja  Rosdakarya.
Syafiie, Inu Kencana, 2003. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia,Cetakan Pertama,PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Saiful,.dkk.  2008, “Reformasi Pelayanan Publik, Malang”, Averroes Press.
Sedarmayanti, 2007. “Manajemen SDM dan Reformasi Birokrasi”, Bandung, PT. Refika   Aditama.
___________,2004, Membangun Manajemen Sistem Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas Menuju Good Governance (Kepemerintahan yang Baik), Bandung, Mandar Maju.
Siagian,1994, “Patologi Birokrasi; Analisis, Identifikasi dan Terapinya” Jakarta,  Ghalia Indonesia.
_____, 1996. “Manajemen sumber Daya Manusia”, Jakarta, PT.  Bumi Aksara.
Syakrani , 2009. “Implementasi Otonomi Daerah dalam Perspektif ‘good governance’, Banja  baru, Pustaka Pelajar.
Tjokrowinoto, 1996. “Pembangunan, Dilema dan Tantangan, Yogyakarta”
 PT. Pustaka  Pelajar.
Thoha. Miftah., Perilaku Organisasi, Rajawali Pers, Jakarta, 1999 (cetakan X)
Widodo,.dkk, 2005.  “Pembaharuan Otonomi Daerah”, Yogyakarta,  APMD Press.

Peraturan Perundangan :
Undang – Undang  Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Modul AKIP (LAN dan BPKP, 2000 ; 30)
Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 tentang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8/1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
__________, 2003. Keputusan MENPAN No. 63 Tahun 2004 tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum, Jakarta.
___________,1997. Departemen Dalam Negeri, Birokrasi di Indonesia, PT. Penebar Swadaya. Jakarta.1997
___________LAN dan BPKP. 2000. Akuntabilitas dan Good Governance. (AKIP). Jakarta. LAN RI.
___________Permendagri No.4 Tahun 2010 ttg Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) .
Jurnal :
_____________Juanda, 2010.  “Jurnal Studi Pemerintahan” Volume 1, Nomor 1.
_____________Asrariyah, 2013. “eJournal Ilmu Pemerintahan” Volume 1, Nomor 1.
_____________Bambang, 2010. “Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi” Volume 17, Nomor 1.
Website :
( http://fardinlaia.blogspot.com/2013/05/profesionalisme-aparatur-pemerintah.html)
 (www.wikipedia.com)



Tidak ada komentar: